MEREKA YANG MENCOBA BERTAHAN DI TENGAH SENI KONTEMPORER


Sedikit renungan bagi kita, kaum muda yang mencintai seni kontemporer.

Beberapa hari yang lalu, ketika saya dan dua teman saya hendak pulang dari kampus, di gerbang depan kampus kami terlihat seorang kakek dengan dandanan tradisional tengah menari-nari kecil sambil mengapit kuda mainan diantara kedua kakinya. Dengan iringan musik tradisional yang sudah “sember”, sang kakek menari mengikuti irama. Salah satu teman saya yang berasal dari Jakarta berkata, “itu seni tradisional Sunda ya?”
“Ya, itu Kuda Renggong,” jawab teman saya yang satunya.
“Bukan tau, itu Kuda Lumping, kan kudanya boongan,” sanggah saya.
“Oh iya, Kuda Lumping,” timpal teman saya yang tadi menjawab salah.
Kami yang menjawab pertanyaan tadi sama-sama berasal dari Sunda, setidaknya kami besar di lingkungan Sunda. Namun, ketika saya mendengar jawaban salah dari teman saya itu, rasa prihatin tmbul. Memang benar, sekarang kita telah lupa dengan seni tradisional.

Kisah tadi hanyalah sepenggal realitas sehari-hari yang sangat mungkin terjadi di mana saja. Keberadaan seni tradisional saat ini memang jarang terjamah masyarakat muda, terkecuali mereka yang menggeluti seni tradisional dengan serius (melalui pendidikan formal mauun non formal). Tidak dapat dipungkiri, seni kontemporer yang terus menggempur, membuat kita lebih tertarik mengetahui seni baru yang lebih modern daripada menggeluti seni tradisional yang sebenarnya merupakan jati diri kita.

Lantas, seperti apakah sebenarnya potret kesenian tradisional saat ini? Bagaimanakah cara mereka bertahan di tengah maraknya seni kontemporer saat ini? Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, tim art.Mosphere mendatangi salah satu sanggar seni yang berada di kawasan Jatinangor-Sumedang-Jawa Barat.

Supriatna, pensiunan guru yang sejak tahun 80-an sudah menggeluti dunia seni tradisional adalah sosok yang saat ini memimpin sanggar sederhana bernama Motekar (kreatif, dalam bahasa Sunda) yang terletak di Sayang-Jatinangor. Sejak diresmikan tahun 2002, atas usul anaknya, Nila yang juga berprofesi sebagai guru, hingga saat ini Sanggar Motekar tetap berusaha berdiri untuk mewariskan peninggalan leluhur. Pewarisan tersebut diakukan dalam bentuk tarian, seni teater, nyanyian, sastra, seni bela diri, dan permainan alat musik. Dimana kesemuanya itu mengusung nafas seni tradisional Sunda yang sangat kental.



Supriatna mengakui, saat ini seni tradisional sudah jarang ditemui di masyarakat kita. Sebuah ironi memang. Di tengah arus globalisasi yang menuntut kita untuk memperlihatkan jati diri bangsa, kebudayaan dan seni tradisional secara perlahan mulai luntur, terkalahkan oleh budaya baru. Sebagai orang yang sangat mencintai budaya warisan leluhur, Supriatna dan keluarga, berusaha membangun sanggar seni yang mewadahi siapa saja yang ingin mempelajari seni dan budaya tradisional, dalam hal ini seni dan budaya Sunda.

Kegiatan-kegiatan yang ada di sanggar itu kebanyakan diikuti oleh anak sekolah. Mereka yang masih bersekolah di SD hingga beberapa yang merupakan siswa SMA kerap berlatih kesenian tradisional di Sanggar Motekar. Menurut Supriatna, sanggar tersebut memang lebih mengkonsentrasikan anak-anak sebagai peserta karena dia yakin, hanya dengan pewarisan lah budaya tradisional yang diwariskan leluhurnya akan terus berkembang.

Supriatna menyatakan keprihatinannya terhadap keberadaan seni tradisional yang terus mengalami kemunduran. Menurutnya, seni tradisional harus diperkenalkan kepada anak sejak dini, agar mereka mengenal dan mencintai budaya lokal. Dengan alasan itulah ia terus mempertahankan keberadaan Sanggar Motekar hingga saat ini untuk guna mewariskan seni dan budaya tradisional kepada generasi penerusnya.

Dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, Supriatna dan beberapa staf sanggar Motekar akan terus mewariskan seni tradisional yang mereka miliki kepada anak-anak, dengan harapan suatu hari nanti satu di antara mereka akan menjadi penerus, menjadi orang yang kembali mewariskan kebudayaaan itu ke generasi selanjutnya.

Begitu pun kakek penari Kuda Lumping yang ada di depan gerbang Kampus Unpad-Jatinangor. Dengan tariannya yang sederhana, ia mencoba memperlihatkan kepada kita yang muda bahwa masih ada budaya tradisional yang harus kita apresiasi.

Kedua tokoh seni ini berusaha menjaga kelestarian nilai-nilai tradisional dengan cara mereka masing-masing agar budaya tradisional tidak cepat punah atau tergeser dengan budaya kontemporer. Sikap yang perlu kita contoh, bahwa kita sebagai generasi muda harus mampu terbuka dengan budaya baru, tapi tidak lupa akan akar kita, seni dan budaya yang lahir di tanah kita sendiri.


9 komentar:

indah tri novita dan inda astri andini mengatakan...

iya kayanya seni kontemprer sudah mulai menurun ya. padahal itu sangat berguna buat anak cucu kita yah!

art.Mosphere mengatakan...

setujuuu..
makanya kita sebagai generasi selanjutnya, harus melestarikan budaya yang ada..:)

Anonim mengatakan...

Kasus kakek yang memainkan tarian "topeng monyet" hanyalah suatu potret kehidupan masyarakat kita yang termarjinalisasikan dari tingkat persaingan hidup.Ia didera kemiskinan individual dan struktural.Dan untuk bisa menopang hidupnya hanya dengan cara "menjual seni tradisional" tarian topeng monyet.

art.Mosphere mengatakan...

bisa jadii...
dia emang ga punya pilihan buat cari nafkah, makanya milih dengan cara itu.
tapi kan bagus jugaaa..paling gak, kita jadi aware kalo masih ada kebudayaan kuda lumping yang dimaenin sama si bapak..hehehe

art.Mosphere mengatakan...

ralat, buat indah...bukannya seni kontemporer yang menurun, tapi seni tradisional....

buat y-boyan... itu bukan tari topeng monyet, tapi tari kuda lumping.

Putera Hasudungan Aritonang mengatakan...

indah: apa gunanya seni tradisional buat anak cucu kita?

art.Mosphere mengatakan...

putera : paling ga kita bisa memperkenalkannya lebih dulu.. lebih baik lagi kalo mereka mau mempelajarinya. jadinya kan kesenian kita ga ilang..siapa lagi yang bakal nerusin kalo bukan mereka (generasi selanjutnya)

Anisa Saptari mengatakan...

saya sungguh2 prihatin..nah tugtas kita lah utk menjaga dan mengembangkan kesenian...

art.Mosphere mengatakan...

tugas kita dan orang2 disekitar kita yang amsih peduli tentang kesenian yang ada..:)

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 art.Mosphere Designed by csstemplatesmarket

Converted to Blogger by BloggerThemes.Net